Dari balik jeruji besi, Muhammad Hisbun Payu atau akrab dipanggil Iss berdiri bersama enam orang warga Sukoharjo, yakni Bambang, Brilian, Kelvin, Sukemi, Danang dan Sutarno. Setelah ditahan tanpa kejelasan hukum selama dua bulan. Mereka akan melalui sidang perdana pada Kamis itu, 24 Mei 2018, di Pengadilan Negeri Semarang, dengan agenda pembacaan dakwaan.
Kawan-kawan solidaritas berdiri di sisi lain jeruji, memberikan semangat dan dukungan moral.
“Kawan-kawan yang di luar jangan sampai berhenti berjuang melawan PT. RUM. Kita yang di sini siap menghadapi proses hukum,” ucap Iss.
Iss dan enam warga Sukoharjo ditahan polisi karena memprotes pabrik kapas sintesis PT. Rayon Utama Makmur (RUM) di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah yang limbahnya membawa penyakit, bau busuk menyengat, mencemari sungai dan mengganggu aktivitas keseharian warga sekitar. Proses penangkapan dan penahanan mereka pun sarat dengan keganjilan dan kesewenang-wenangan.
Prosedur penangkapan yang janggal
Iss dan enam orang warga penolak PT. RUM ditangkap pada Maret 2018. Ketika itu, aparat kepolisian tidak menunjukkan surat keterangan apa pun; Iss dan warga penolak malah diperintah untuk mengisi lembar catatan guna menjelaskan identitas mereka. Berdasar informasi dan identitas dalam secarik kertas tersebut, polisi membuat surat penangkapan di kemudian.
“Harusnya kan diperlihatkan dulu surat penangkapannya. Tapi ini kebalik, ditangkap dulu baru kemudian ditulis tangan [suratnya],” kata Rizky Putra Edy dari LBH Semarang sebagai tim kuasa hukum yang mendampingi lima orang terdakwa kepada Metaruang.
Proses penangkapan Iss dan enam warga penolak PT. RUM penuh dengan kecacatan, sebut Rizky. Di sisi lain, aparat kepolisian bergerak lambat untuk memproses laporan warga terhadap pencemaran lingkungan yang dilakukan PT. RUM yang telah dilayangkan sebanyak 5 kali.
Maladministrasi PN Semarang
Ditambah lagi, secara normatif penahanan tujuh orang tersebut seharusnya batal demi hukum hingga 22 Mei 2018, karena pihak lapas tidak memiliki dasar hukum untuk menahan mereka. Walau laporan telah dilimpahkan ke kejaksaan sejak 15 Mei 2018, kabar mengenai jadwal persidangan belum kunjung muncul dari PN Semarang.
Pihak LBH Semarang pun berkomunikasi dengan jaksa pada Rabu pagi, 23 Mei 2018, dan menanyakan jadwal sidang. Jaksa menyampaikan mereka belum mendapatkan panggilan sidang apapun.
Untuk mengonfirmasi hal ini lebih lanjut, LBH Semarang mendatangi PN Semarang di hari yang sama sekitar pukul 13.00. Ternyata, perkara tersebut telah terdaftar, dan sidang perdana mereka akan digelar esok harinya pukul 09.00. LBH Semarang sebagai penasihat hukum sama sekali tidak pernah mendapat pemberitahuan apa-apa.
“Ternyata panitra mengatakan bahwa surat penahanan maupun surat panggilan sidang sudah dikirimkan ke kejaksaan pada tanggal 17 Mei [2018]. Tapi jaksa mengaku belum tahu,” jelas Rizky.
Hal ini melanggar ketentuan dalam Pasal 227 ayat 1 KUHAP, yang menyatakan bahwa semua jenis panggilan sidang harus disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan.
LBH Semarang mengaku perlakuan dari PN Semarang ini sangat merugikan, baik bagi tim kuasa hukum maupun bagi terdakwa. Andai saja mereka tidak berinisiatif untuk mengecek langsung ke PN Semarang, bisa jadi warga Sukoharjo sebagai terdakwa harus menjalani pembacaan dakwaan tanpa didampingi penasihat hukum.
Padahal, ancaman hukuman Iss dan warga Sukoharjo yang terdakwa mencapai lebih dari 5 tahun. Wajib hukumnya bahwa mereka harus didampingi dalam proses hukum.
Atas dasar ini, tim kuasa hukum Iss dan warga Sukoharjo yang tergabung dalam Tim Advokasi Sukoharjo Melawan Pencemaran menduga adanya maladministrasi yang dilakukan lembagai terkait yakni PN Semarang, Kejaksaan Negeri Semarang, Kejaksaan Negeri Sukoharjo dan pihak Lapas Kedungpane. Mereka akan melaporkan hal ini ke Ombudsman, Komisi Kejaksaan, serta Kanwil Kemenkumham Jawa Tengah.
Dukungan dari elemen solidaritas
Sidang pembacaan dakwaan dimulai sekitar pukul 12.45. Iss, Brilian dan Sutarno, dijerat dengan Pasal 170 KUHP juncto Pasal 406. Sedangkan Sukemi dan Kelvin dijerat dengan Pasal 187 KUHP juncto Pasal 170 juncto Pasal 406.
Di luar gedung pengadilan, sekitar 70-an orang yang terdiri dari warga Sukoharjo dan mahasiswa mengawal proses sidang dengan menggelar aksi. Spanduk-spanduk bertuliskan “Bebaskan kawan kami!” menghiasi lapangan parkir PN Semarang, dipegang oleh figur-figur dengan wajah yang ditutupi masker. Selain menuntut untuk membebaskan aktivis pejuang penolak PT. RUM, mereka juga mendesak pemerintah untuk mengusut kekerasan aparat terhadap massa aksi penolak PT. RUM.
Perjuangan masih terus berlanjut –deklarasi SAMAR dalam rilis mereka. Soal hukum di negara ini malah runcing ke bawah, tumpul ke atas. “Mereka yang memperjuangkan lingkungan hidupnya diproses dengan cepat, sedangkan perusaknya tak kunjung diproses sampai hari ini,” tegas rilis sepanjang dua halaman itu.
Proses hukum selanjutnya, sidang eksepsi, akan digelar pada Kamis, 31 Mei 2018.
Artikel ini diterbitkan ulang dari metaruang.com.