Dalam banyak pemikiran Michael Foucault, kebanyakan orang mengenal aliran filsafatnya cenderung mengenai konsep-konsep strukturalisme atau bahkan hingga ke tahap post-strukturalisme, mesikpun Foucault sendiri tidak mengatakan dirinya memiliki ciri khas seorang strukturalis atau bahkan post-strukturalis.
Pemikiran Foucault memang berada pada tahap masa transisi pemikiran Eropa kontemporer ke arah post-modernisme—pemikiran yang muncul setelah pasca Perang Dunia II atau juga dikenal sebagai aliran filsafat yang lahir ketika kapitalisme lanjutan itu berhasil merongrong dengan halusnya pasca runtuhnya kapitalisme di Eropa.
Di sini kita tidak membahas aliran filsafat Foucault, namun kita akan membahas salah satu kajian Foucault mengenai disiplin dan hukuman. Dalam salah satu sub Bagian Pertama Discipline and Punish yang berjudul: “The Body of Condemned” (Tubuh orang yang dihukum) Foucault menguraikan perihal transisi strategi menghukum tanpa menyentuh tubuh. Hal inilah yang akan kita bahas bagaimana relasi kuasa tetap langgeng tanpa harus memunculkan pemberontakan atas hukuman yang dianggap tidak humanistis—tradisi hukuman yang dipertontonkan sehingga dianggap tidak sangat manusiawi—meskipun dalam praktiknya relasi kuasa hanya memperhalus kekejamannya dengan mempertontonkan imaji penghalusan “siksaan”.
Foucoult juga menyinggung relasi eksistensi kuasa dengan munculnya pengetahuan yang hadir dalam tubuh masyarakat guna membentuk yang terhukum menjadi individu modern. Sehingga memunculkan “Teknologis Politis” dalam tubuh individu yang dibuat untuk patuh. Pembentukan individu modern melalui proses disiplin yang sebenarnya merupakan siksaan terberat dalam diri individu, serta hukuman yang diperhalus melalui perubahan strategi kulit luarnya namun tidak merubah hal fundamental cara-cara menghukum, pun menjadi sorotan utama Faucoult dimana ia juga menjelaskan tentang kelahiran sistem penjara dalam perkembangan sejarah yang linier ini berlangsung.
Apa yang membuat siksaan dalam relasi kuasa diperhalus?
Dalam Discipline and Punish, Foucault mencoba menganalisis perubahan dan pergeseran strategi menghukum yang tidak lagi menyentuh tubuh. Secara khusus, Foucault memperhatikan gejala menghilangnya hukuman penyiksaan sebagai “tontonan”. Hukuman yang dipertontonkan disertai siksaan itu mulai dihapuskan.
Gejala ini membuat kebanyakan orang awam kala itu abad ke-17—awal abad ke-18 mengartikan bahwa penguasa sudah membuat hukuman itu lebih “manusiawi”. Namun Foucault berpendapat bahwa anggapan suci itu muncul karena masyarakat enggan menganalisis mengapa hukuman itu “diturunkan” hingga ke taraf yang dianggap manusiawi.
Perubahan ini menandai hukuman yang tidak lagi menyentuh tubuh si terhukum. Beberapa bentuk hukuman tersebut seperti amende honorable[1], hukuman cambuk dan kerja paksa—yang secara langsung menyentuh tubuh—akhirnya dihapuskan. Penguasa merekontruksi cara menghukum yang sarat dengan siksaan ini karena hanya akan menimbulkan “konfrontasi fisik” antara penguasa dan rakyat.
Perubahan tersebut disusul dengan hukuman yang menjadi bagian tersembunyi dari sebuah peradilan yang dianggap lebih lumrah dan manusiawi. Hukuman pun akhirnya memasuki ruang abstrak dan meninggalkan wilayah pengertian seperti biasanya sebagai siksaan yang “dipertontonkan”.
Rekontruksi kesadaran akan pemahaman mengenai siksaan serta pembentukan ruang abstrak tersebut dilakukan melalui pembentukan lembaga, perumusan undang-undang, intregasi prosedur, penentuan sistem peradilan serta hukuman korektif.
Melalui perubahan tersebut, tubuh tidak lagi menjadi “target” melainkan “medium”. Artinya, tubuh tidak lagi disiksa secara langsung menyentuh tubuhnya namun melalui penanaman nilai-nilai penghambaan dengan memperhalus hukuman menjadi sebuah “kedisiplinan”. Hal ini dilakukan dengan mengambil waktu siterhukum untuk bekerja di bengkel-bengkel ekonomi atau menjadi budak dari si penghukum (baca: penguasa).
Kapan strategi hukuman diperhalus?
Pelaksanaan hukuman yang disertai dengan penyiksaan kejam merupakan tontonan yang sangat disukai oleh publik Prancis pada awal abad ke-17 hingga paruh abad ke-18. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya yang hadir untuk sekadar menonton praktik-praktik hukuman yang kejam—terutama di panggung Guillotine, namun akhirnya tergeser pada kurun paruh kedua abad ke-18, abad ke-19 bahkan hingga sampai sekarang.
Foucault mensinyalir, kurun waktu tersebut merupakan fase dimana proses pengembalian “ekonomi menghukum” di Eropa dan Amerika Serikat[2], ditandai dengan penghalusan cara praktik penyiksaannya dalam bentuk pengurungan disertai pengaturan waktu (dalam penjara). Antara abad itu juga, pada tahun 1830—1848, di Inggris, semua hukuman yang berbentuk fisik secara resmi dihapuskan meskipun secara berangsur-angsur.
Dalam sejarah penghukuman, hukuman gantung diterima pada tahun 1783, bersamaan dengan penghapusan arak-arakan bagi bagi mereka yang hendak dihukum. Guillotine akhirnya digunakan pada tahun 1792, dan itu merupakan hukuman yang sangat sempurna. Kematian lalu direduksi ke dalam ‘yang ditonton’, tetapi hanya ‘sekejap’. Kontak psikologis antara algojo dan tubuh yang terhukum itu hanya terlihat sebelum algojo siap menebaskan tali penahan pisau pada tiangnya.
Mengapa relasi kuasa mengincar tubuh individu sebagai locus (wadah)?
Dalam geneologinya, Foucault berpendapat bahwa tubuh dianggap sebagai sebuah Locus (wadah) kuasa untuk menghukum bekerja sebagai sebuah hal yang patut disoroti secara khusus. Foucault menyebutnya sebagai “teknologis politis terhadap tubuh”. Ia menyarankan agar kita membuat dikotomi atas pengertian hukuman, tidak hanya menariknya ke wilayah negatif, tapi juga menariknya ke wilayah pengertian yang normatif-positif.
Menurut Foucault, pelaksanaan hukuman saat ini telah ditempatkan dalam ‘teknologi politis terhadap tubuh’. Artinya, dalam pelaksanaan kedisiplinan, relasi kuasa membentuk diri individu melalui cara melatih, menyiksa ataupun dengan teknik kepatuhan. Hal tersebut membuat tubuh menjadi sebuah ‘subyek-yuridis’ kepatuhan yang ingin membentuk kekuatan atas tubuh individu modern. Sehingga sebenarnya penanaman mentalitas budak melalui penghambaan adalah bentuk eufisme dari istilah pengetahuan—disini pengetahuan digunakan sebagai instrumen relasi kuasa itu untuk memperluas hegemoninya.
Untuk memahami dengan lebih mudah, Foucault menyebutnya sebagai microphysis[3], dimana tubuh hanya bergerak jika hanya mendengar kata perintah. Sehingga membuat individu itu tertakhlukkan tanpa adanya penolakan oleh individu itu sendiri.
Di sinilah bengkel individu modern itu terjadi. Pada tahapan microphysis sendiri, individu memperluas pengetahuannya akan sesuatu hanya melalui bahasa yang diberikan oleh para penguasa, atau dalam artian mudahnya, individu modern ini mengenal dirinya sendiri sebagai sebuah robot tanpa mengetahui bahwa dirinya adalah robot
Bagaimana proses kelahiran penjara?
Melalui pendekatan genealoginya juga, Foucault menguraikan pengertian penjara dalam tiga bagian:
Pertama, Foucault memaknai penjara sebagai sebuah ‘lembaga yang lengkap dan keras’ dengan mengartikannya bukan sebatas sebagai sebuah instrumen perampas kebebasan, namun ia membawa pengertian ini ke wilayah yang lebih luas, yaitu mengartikannya sebagai sebuah tahapan dimana hukuman secara korektif itu diperlakukan. Melalui para terpidana itu juga, ahkirnya menghasilkan sebuah pengetahuan baru mengenai ciri-ciri atau pengertian mengenai kejahatan.
Foucault menyangkal bahwa kelahiran penjara bersamaan dengan munculnya prosedur perundang-undangan. Ia berpendapat bahwa jauh sebuah prosedur yang diintregasikan melalui undang-undang, sebenarnya penjara telah melakukan cara kerjanya secara otomatis, melalui pemisahan serta penyebaran individu dalam sel-sel yang berbeda; yang diklasifikasikan menurut apa yang telah mereka lakukan.
Hal tersebut digunakan untuk melatih tubuh mereka dengan pendekatan individu masing-masing. Sehingga setiap individu memiliki kemampuan dan tingkat pengetahuan yang bervariasi, namun masih dalam satu perintah, guna membentuk mereka menjadi ‘tubuh pengetahuan’ yang microphysis.
Kedua, tindakan illegal dan pelanggaran (delinquance[4]). Foucault menganalisis keberhasilan dari penjara yang dianggap telah gagal menjalankan tugasnya. Maka dari itu penjara merubah strategi dan tujuannya untuk menghadapi ‘tindakan illegal’.
Ketiga, puncak pembentukan ‘Kepulauan Pemenjaraan’. Kita telah melihat bahwa penjara mengubah prosedur penghukuman menjadi teknik penahanan dan kepulauan pemenjaraan menyebarkan teknik ini ke dalam seluruh tubuh sosial. Namun hal tersebut menimbulkan beberapa dampak, hal tersebut antara lain: selama abad klasik, aturan mengenai kejahatan, pengakuam dosa dan lain-lain terkait dengan instansinya masing-masing—pengadilan, hukuman pengurungan dan Gereja—ternyata tidak saling terkait. Kepulauan pemenjaraan justru berfungsi lebih luas dari tujuan awalnya, yaitu membentuk sebuah hukuman yang sangat koheren dengan keinginan dalam tubuh masyarakat. Lalu dampak yang lain, para perusuh entah itu yang berada dalam kasta berbeda, akan ditempatkan dan disesuaikan dengan stratifikasi sosial mereka ke dalam ruang-ruang pemenjaraan yang sesuai dengan setiap kasta masing-masing.
Foucault agaknya terlalu jauh untuk meramalkan perihal ‘disiplin’ dan ‘hukuman’, dimana keadaan kala itu sangat terbatas untuk menggali mengenai kedua hal tersebut, namun sekiranya ia telah berhasil dalam banyak hal, terkait dengan pendekatan arkeologinya atau genealoginya. Terutama melalui genealogi miliknya yang membuat kita mudah memahami relasi kuasa atas tubuh sebagai locus, mengetahui bahwa eksistensi kekuasaan melalui kontrol penguasa atas massa sangat berpengaruh dalam lahirnya pengetahuan—penaklukkan—serta mengenal lebih jauh dan masuk akal mengenai kelahiran penjara yang merupakan fase terahkir dari cara menghukum yang dianggap paling manusiawi melalui penghalusan serta rekontruksi startegi penyiksaan.
Catatan Kaki
[1] Bentuk hukuman minta maaf dihadapan publik yang dilakukan dengan ‘jujur’
[2] Pada awal bukunya,Discipline and Punish dalam sub bab “The Birth of the Prison” ( Kelahiran Penjara), Foucault memberi ilutrasi dari perubahan cara menghukum dengan dua contoh, yakni: siksaan publik yang kejam dan kasar yang dialami oleh Damiens yang gagal membunuh Raja Louis XV yang dilaksanakan pada tahun 1757 dan aturan-aturan ‘untuk Penjara bagi Pemuda Prancis’.
[3]Tubuh bukan sebagai ‘pemilik’ tapi menjadi sebuah individu yang telah ditakhlukkan menjadi sebuah strategi
[4]Foucault memakai istilah tersebut yang bila diterjemahkan kedalam bahasa Inggris menjadi ‘deliquency’.Istilah ini merupakan istilah khusus. Istilah ini hanya dapat dimengerti dalamkaitannya dengan tindakan ilegal dan mekanisme penjara.
Daftar Pustaka
Hardiyanta, P. Sunu. 1997. Michael Foucault: Disiplin Tubuh Bengkel Individu Modern. Yogyakarta: Penerbit LKis.
Michael Foucault (2005, 30 Mei). Discipline and Punish. Diperoleh 7 Mei 2018, dari http://www.sparknotes.com/philosophy/disciplinepunish/