Solidarity with Anindya Shabrina

One of the women activists of the National Student Front (FMN) and also a radical feminist who is active as editor in chief of Merah Muda Memudar (MMM), Anindya Shabrina, was threatened with criminalization after complaining of sexual abuse cases by police officers she experienced during the forced dissolution of discussions of Papuan students in Surabaya at Friday, July 6, 2018.

Papuan students living in a student dormitory on Kalasan, Surabaya, East Java held a film screening of the 1998 Biak Papua bloody tragedy. When film discussions were underway, police intelligence entered the dormitory, which was immediately followed by other police officers and Satpol PP personnel. Papuan students standing near the door and discussing the event with the police were dragged out and provoked by the police.

The Tambaksari sub-district head together with military personnel, police and Satpol PP then entered the dormitory. Also seen were six black uniformed police officers who were carrying weapons into the dormitory. Then, the Head of Tambaksari Sub-district ordered the Papuan students to show their KTP on the grounds that they were carrying out an inspection operation. However, students refused the examination, and questioned the official letter, which was not owned by the officer.

Furthermore, there was an immediate debate between students, supported by LBH Surabaya (legal aid organization in Surabaya) lawyers with the head of the sub-district head and the police with the military. The police dragged out an LBH lawyer, Mr. Sholeh. That’s when Anindya was also dragged out and sexually abused. Anindya’s breasts were squeezed, and when Anindya shouted in protest at the matter, the officials even laughed.

A few days later Anindya wrote a series of statements on her social media. He and LBH also reported this to Propam on 9 July 2018. The report was addressed to East Java Regional Police with Letter Number 133/SK/LBH/VII/2018. The letter contained the alleged violation of the police code of ethics when the incident occurred on July 6, 2018 with the complainant being Mr. Kompay Prayitno, Tambaksari Police Chief, Surabaya City, and Surabaya Police Commissioner Rudi Setiawan.

But then Anindya was reported by the mass organization on behalf of itself, the Surabaya Papua Great Association (IKBPS) which was chaired by Piter Frans Rumasek who was also a member of the Satpol PP in Surabaya City on charges of defamation. But Papua student organization in Surabaya, Ikatan Pelajar Dan Mahasiswa Papua (Ipmapa) stated that the complaint did not represent the interests of Papuan students. On August 16, 2018, a warrant was issued with the number: Sprin-Sidik /665/VIII/RES2.5/2018/Satreskim. In the letter Anindya Shabrina Prasetiyo was snared with article 45 paragraph (3) Jo article 27 paragraph (3) of the Republic of Indonesia Law No 19 of 2016 concerning Amendments to RI Law No. 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions.

With this short report we call for solidarity for Anindya Shabrina to fight against criminalization. Long live women struggle!

Further information:
LBH Surabaya
Jl. Kidal No.6, Pacar Keling, Tambaksari, Kota SBY, East Java 60131, East Java
Instagram: @ylbhi_lbhsurabaya
Email: lbh_sby@yahoo.com

Facebook: YLBHI – Surabaya Legal Aid Institute
Twitter: @LBH_surabaya
Website: asistenhukumsby.or.id

Indonesia Anarchist-Feminist Network Solidarity with Anindya Shabrina
Instagram: @affc.indonesia
Website: antifeminist.noblogs.org

___________________________________________________________________

Salah satu aktivis perempuan Front Mahasiswa Nasional (FMN), Anindya Shabrina, yang juga aktif di Merah Muda Memudar (MMM) terancam dikriminalisasi setelah mengadukan kasus pelecehan seksual oleh aparat kepolisian yang dialaminya saat pembubaran paksa diskusi mahasiswa Papua di Surabaya pada Jumat 6 Juli 2018.

Mahasiswa Papua yang tinggal di asrama mahasiswa di Jalan Kalasan, Surabaya, Jawa Timur mengadakan pemutaran film tentang tragedi berdarah Biak Papua 1998. Saat diskusi film sedang berlangsung, intelijen kepolisian masuk ke dalam asrama, yang segera diikuti oleh petugas kepolisian yang lain dan personil Satpol PP. Mahasiswa Papua yang berdiri di dekat pintu dan sedang membicarakan diskusi tersebut dengan polisi diseret keluar dan diprovokasi oleh kepolisian.

Camat Tambaksari bersama dengan personil militer, polisi dan Satpol PP kemudian masuk ke dalam asrama. Terlihat pula enam polisi berseragam hitam masuk membawa senjata ke dalam asrama. Lalu, Kepala Camat Tambaksari memerintahkan mahasiswa Papua menunjukan KTP dengan alasan sedang melakukan operasi pemeriksaan. Namun, mahasiswa menolak pemeriksaan, dan mempertanyakan surat tugas, yang tidak dimiliki oleh petugas.

Lebih lanjut, segera terjadi debat antara mahasiswa, yang didukung oleh pengacara LBH Surabaya dengan kepala Camat beserta polisi dengan militer. Polisi menyeret keluar salah seorang pengacara LBH, Bapak Sholeh. Di saat itulah Anindya juga diseret keluar dan mengalami pelecehan seksual. Payudara Anindya diremas, dan saat Anindya berteriak memprotes hal tersebut, para aparat malah tertawa.

Beberapa hari kemudian Anindya menulis serangkaian pernyataan di media sosialnya. Ia bersama LBH juga melaporkan ini ke Propam pada tanggal 09 Juli 2018. Laporan itu ditujukan kepada porpam Polda Jatim dengan Nomor Surat 133/SK/LBH/VII/2018. Surat itu berisi mengenai dugaan pelanggaran kode etik kepolisian saat terjadi peristiwa tanggal 06 Juli 2018 dengan pihak teradu adalah Sdr Kompol Prayitno Kapolsek Tambaksari Kota Surabaya dan Kombes Pol Rudi Setiawan Kapolrestabes Surabaya.

Anindya Justru di laporkan oleh ormas yang mengatasnamakan dirinya Ikatan Keluara besar Papua Surabaya (IKBPS) yang diketuai oleh Piter Frans Rumasek yang juga seorang anggota Satpol PP di Kota Surabaya dengan tuduhan pencemaran nama Baik. Tapi Ikatan Pelajar Dan Mahasiswa Papua (Ipmapa) Se-Surabaya menyatakan bahwa pelaporan tersebut tidak merepresentasikan kepentingan mahasiswa Papua di Surabaya. Tanggal 16 Agustus 2018, keluar surat perintah penyidikan dengan nomor : Sprin-Sidik/665/VIII/RES2.5/2018/Satreskim. Dalam surat tersebut Anindya Shabrina Prasetiyo di jerat dengan pasal 45 ayat (3) Jo pasal 27 ayat (3) Undang-undang RI No 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-undang RI No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dengan laporan singkat ini kami menyerukan solidaritas untuk Anindya Shabrina untuk berjuang melawan kriminalisasi. Panjang umur perempuan!

Informasi lebih lanjut:

LBH Surabaya
Jl. Kidal No.6, Pacar Keling, Tambaksari, Kota SBY, Jawa Timur 60131, Jawa Timur
Instagram : @ylbhi_lbhsurabaya
Email : lbh_sby@yahoo.com
Facebook: YLBHI – Lembaga Bantuan Hukum Surabaya
Twitter : @LBH_surabaya
Website: bantuanhukumsby.or.id

Jaringan Anarkis-Feminis Indonesia yang bersolidaritas dengan Anindya
Instagram : @affc.indonesia
Website : antifeminist.noblogs.org

This entry was posted in Kabar. Bookmark the permalink. Both comments and trackbacks are currently closed.
  • Anarchist Black Cross Federation